Manusia Utuh (?)

Buah pikiran setelah menyaksikan film dokumenter animasi K0S0NG

Din
3 min readSep 10, 2020
Foto dari potongan fim k0s0ng
Foto dari potongan film k0s0ng

Kita tidak perlu menghadirkan momongan untuk menjadikannya validasi terhadap diri kita bahwa kita adalah manusia seutuhnya.

Tepat di tanggal 9 September 2020, aku menemukan posting-an di instagram bahwa akan ada screening film dokumenter animasi yang berjudul k0s0ng karya Chonie Prysillia dan Hizkia Subiyanto.

Dokumenter ini sangat menarik perhatian ku, yang mana adalah seorang penikmat film karbitan. Sebuah film dokumenter yang menceritakan kisah 5 wanita yang menjalani kehidupan pernikahan tanpa memiliki keturunan. Ditambah, film ini dieksekusi dengan konsep animasi. Sangat menarik!

Permasalahan atau isu yang diangkat film ini merupakan permasalahan yang terbilang masih cukup tabu untuk diterima oleh kebanyakan orang. Menjalani kehidupan berumah tangga tanpa memiliki keturunan dan berdampingan dengan stigma-stigma yang masih marak di masyarakat.

Kebiasaan masyarakat sekitar kita dalam mencampuri urusan individu lain bukan lagi menjadi hal yang jarang dijumpai. Hal semacam itu sudah ada sejak lama dan telah mengakar, baik di daerah maupun perkotaan.

Pembicaraan terkait hal-hal yang seharusnya menjadi urusan dan permasalahan pribadi, seringkali dilontarkan. Mungkin beberapa orang menyebutnya sebagai “omongan tetangga” ya, omongan yang ber-isikan pembicaraan basa-basi ataupun pertanyaan-pertanyaan yang menurut ku sangat memuakan.

“Ehh lu masih belum punya pacar juga?” “Ehh, dia udah mau nikah. lu kapan nikah?” “Jodoh lu kayanya udah mati dari dia bayi” “Allah udah ga akan ngasih lu jodoh pas umur lu 25 tahun”

Mungkin pertanyaan dan omongan yang dilontarkan orang-orang sekitar ku baru pada level pasangan dan jodoh, yang mana situasinya belum naik ke level “kapan punya anak dan kapan mau nambah?” hey! berasa lagi makan di warteg lalu menawarkan tetangga samping kursi kita buat nambah tempe orek.

Sudah lama mengakar, tuntutan dan tekanan dari nilai-nilai yang telah lama dianggap benar pada akhirnya menjadi standar keutuhan seorang manusia dalam melanjutkan hidup ke tahap selanjutnya.

Setelah lulus sekolah, lalu mencari pekerjaan, setelah mendapatkan pekerjaan lantas apa lagi yang harus dicari? (katanya).

Bagi beberapa orang, melangkah ke-tahap selanjutnya seperti “pernikahan” merupakan sebuah tahapan yang penuh dengan pertimbangan, dan penuh dengan pertanyaan akan kesanggupan dirinya terhadap suatu hal yang masih rancu akan kepastiannya. Seperti pertanyaan atas kesanggupan dirinya apabila ia menjadi orangtua, dan masih banyak pertimbangan-pertimbangan lain yang tidak bisa kita sama-ratakan dengan situasi tiap individu.

Miris rasanya melihat kenyataaan di masyarakat yang lebih (condong) menyudutkan satu pihak dalam hal-hal terkait keturunan. Masyarakat kebanyakan ditanamkan oleh nilai-nilai bahwa kamu akan menjadi manusia yang utuh tak kala rahim-mu pada akhirnya berisi kehidupan.

Namun pada saat kita dihadapkan dengan pilihan atau keadaan untuk tidak memiliki keturunan, kebanyakan hanya satu pihak yang lebih sering mendapatkan stigma sampai dengan “perawatan” dari mulai minum obat sampai datang ke dukun.

Perempuan pada akhirnya sering tidak “memiliki” tubuhnya sendiri mana kala ia dihadapkan dengan tuntutan dan tekanan dari lingkungan sekitar.

Sejak kapan permasalahan itu mengakar? tidak ada yang tau persis kapan semua itu berawal. Tuntutan dan tekanan dari lingkungan sekitar tak jarang memberikan Impact yang sangat besar kepada satu individu, tanggung jawab seakan-akan diberikan kepada satu pihak tatkala pertanyaan seperti “udah isi apa belum” dilontarkan dengan mudahnya dari mulut orang lain.

Menjadi orangtua dan memiliki anak yang keluar dari rahimnya sendiri merupakan anugerah dan berkah yang luar biasa. Namun, apabila pada akhirnya kita dihadapkan dengan individu yang memiliki pilihan atau keadaan yang berbeda, bukan berarti ia lantas menjadi manusia yang tidak utuh.

Perihal pilihan untuk menikah dan menjalin kehidupan pernikahan dengan (tidak) memiliki keturunan merupakan pilihan, pilihan bagi setiap individu yang akan menjalaninya.

Melanjutkan kehidupan tidak harus selalu menikah dan menikah tidak harus selalu memiliki keturunan. Semua itu merupakan hal yang patut dihormati, mengingat semua keputusan bermuara pada pemikiran individu yang menjalaninya.

--

--